Diari PTT Halsel : Kepulauan Widi


Kepulauan Widi adalah tempat pertama aku baronda bersama kakak-kakak dokter PTT Halsel. Seminggu setelah acara Hari Kesehatan Gigi Sedunia di Pulau Bacan, aku dan kakak-kakak geng Bacan (Kak Onha, Kak Yunhi, Mbak Lala, Mbak Ades, Mbak Yennie, Kak Lisa, Kak Anggit, Kak Ardi, Yudi, Kak Mifta, Albert) berangkat dari Babang, Pulau Bacan. Kami naik kapal kayu menyeberang ke Saketa. Selama di perjalanan kami melihat paus di kejauhan. Apa sih bedanya paus, lumba-lumba, dan gurango (hiu)? Kalau lumba-lumba bergerombol dan gerakannya melompat, kalau paus kepalanya naik sebentar terus menyelam lagi dan ga gerombol, kalau gurango siripnya terlihat di permukaan laut terus.

Dari Saketa, kami lanjut naik otto (istilah untuk angkot/taksi mobil) menuju Bisui. Perjalanan dari Maltuting ke Bisui belum beraspal dan jalanannya jelek sekali. Sampai di Bisui kami turun dari otto dan harus naik rakit dulu untuk melanjutkan perjalanan. Setelah itu dijemput ambulance Bisui. Di Bisui semua geng Bacan dan geng Gane (Mbak Alif, Mas Agil, Mbak Dennise, Bang Ahmad, Mas Fuad) kumpul.

Tanggal 1 April kami berenam belas berangkat dari Bisui menuju Kepulauan Widi. Sebagian naik body batang, sebagian naik avicenna (speed kecil puskesmas) Bisui. Kami berangkat cuaca cerah. Langit biru dan laut biru.

Begitu sampai di pulau gerbangnya Widi, warna laut menjadi tosca. Cantik! Widi's colors consist of 50 shades of blue and tosca.



Karakter Kepulauan Widi adalah pasir putih yang saat laut surut menghubungkan pulau-pulaunya. Kami pun bersandar sebentar di beberapa pulau terdekat.




Karena cuaca tiba-tiba mendung, setelah berkeliling, kami ke Pulau Daga. Pulau Daga adalah salah satu pulau di Kepulauan Widi yang ramai ditinggali nelayan yang singgah untuk mencari ikan. Kebanyakan mereka berasal dari Gane Luar ataupun Bajo. Kami menginap di salah satu rumah nelayan di pesisir pantai. Rumah-rumah di sana berbentuk rumah panggung dari kayu. Senja pun turut menambah keeksotisan rumah-rumah di Pulau Daga. Di Pulau Daga, kami makan kepiting kenari, ikan yang dipancing Kak Onha, dendeng rusa dari Saketa, dan minum air kelapa muda. Enak sekali!




Sayangnya karena seringnya hanya untuk persinggahan di sini memang tidak ada listrik dan tidak ada sinyal. Tapi justru malah menyenangkan. Sudah ada kamar mandi memang, tapi untuk airnya harus menimba dari sumur. Ada juga WC laut, jadi hanya kayu dilubangi dan diberi sekat.

Kepulauan Widi memang terkenal dengan ikan-ikannya. Oleh karena itulah, Oktober nanti akan diadakan mancing mania bertaraf internasional. Sayang saat kami ke sana cuaca mendung, bahkan ada kapal nelayan dari Bajo yang sudah bersandar hampir satu minggu karena belum dapat ikan untuk dijual efek cuaca buruk.

Keesokan harinya cuaca tetap mendung. Kami tetap memaksa pulang dan batobo dulu. Setelah mencari spot untuk batobo akhirnya kami menemukan spot terbaik yaitu di dekat sebelum pulau gerbangnya Widi. Bentuk karangnya seperti teluk yang langsung ke laut lepas. Mirip dengan Menjangan, Bali. Ga ada arus, jadi batobonya asyik.



Setelah itu kami menuju pulang, tapi ternyata cuaca makin buruk. Hujan deras. Kabut. Gugus Halmahera bahkan pulau di sekitar tidak terlihat sama sekali. Kami berhenti terombang-ambing di tengah lautan. Karena aku naik body batang jadi lumayan berasa serunya. Air ombak sudah masuk dari depan dan samping sehingga yang cowo-cowo memakai panci ember dan semua yang bisa dipakai untuk mengeluarkan air. Sudah hampir terbalik juga.

Untung ga lama, pulau di sekitar mulai terlihat. Kami menepi ke salah satu pulau tak berpenghuni. Kami menunggu di dalam air dan duduk di karang yang mati biar ga dingin. Beberapa jalan ke daratan untuk mencari kayu bakar, tapi kembali lagi karena selain ga bawa pemantik, banyak ular laut. Hammadaan! Akhirnya setelah menunggu dari jam 2 siang sampai 5 sore hujan mereda dan gugus Halmahera mulai terlihat.

Kami melanjutkan perjalanan. Belum sampai di tujuan, bensin body batang sudah mau habis. Jadilah kami ditarik avicenna dengan jangkar seperti menaiki banana boat. Setelah dekat dengan pelabuhan Bisui, jangkar dilepas dan dengan sisa-sisa bensin yang ada akhirnya kami sampai juga.

Karena sudah terlalu lelah, kami memutuskan bermalam lagi di Bisui. Oh iya, di Bisui ini selain akses jalan yang jelek, sinyal juga susah. Bahkan untuk menelepon dan sms sekalipun. Kami kemudian baru pulang besoknya ke tempat masing-masing. Aku ikut geng Bacan karena masih ada urusan di dinkes. Waktu pulang perjalanan Saketa-Babang kami disambut segerombolan lumba-lumba yang melompat-lompat lucu. Benar-benar hiburan setelah terdampar dan badai.


Comments